capellaraa
2 min readJul 9, 2021

Awalnya hanya seutas senyum yang aku hadiahkan untuknya.

“ Kalau-kalau duniamu sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya sambil mengulurkan tangan miliknya.

Namun aku ini perempuan yang keinginannya tidak pernah sederhana, selalu rumit, dan kadang suka menantang dunia untuk memperlihatkan sisi jahat dari awan-awan biru yang selalu menggantung seakan memberi tahu bahwa masih ada hari yang harus diperjuangkan entah dengan kaki yang lebam ataupun kantung mata yang menghitam. Oleh karena itu, kuhadiahi dia dengan seutas senyuman — menolak untuk menerima yang dia sediakan.

Awalnya hanya seutas senyum yang aku hadiahkan untuknya.

Langkah kaki miliknya selalu berhasil menghentikan langkah kaki milikku. Padahal dia berjanji hanya akan berjalan di sampingku hanya sampai hitungan sepuluh. Duniaku runtuh, dia utuh dengan senyum lebar miliknya dan kutemui lagi tangan besar miliknya yang bersiap menangkapku apabila sewaktu-waktu aku tersandung tali sepatu ataupun kaki milikku tidak sanggup lagu untuk kuajak berlari. Dia sama sekali tidak pernah pergi, takut-takut apabila pergi nanti malah senyumku ini kuhadiahkan untuk yang bukan dirinya — katanya.

Sejak itu tak kuhadiahi lagi dia dengan seutas senyum namun aku ganti dengan merah yang ada di pipi.

Esoknya aku beri hadiah dia seribu doa sebagai ucapan terimakasih.

Esoknya lagi, gelak tawa serta tautan jari jemari adalah yang dia ambil dari separuh utuhku.

Esoknya lagi dan lagi, dua puluh warna yang aku tuang pada kanvas miliknya berharap awan-awan biru itu setuju untuk menghadiahi dia dengan sebab-sebab yang dapat membuat tawa kencangnya terdengar sampai sabit adalah yang aku temui pada netranya.

Esoknya lagi, lagi, dan lagi, aku baru berani bilang bahwa duniaku sedang tidak baik-baik saja.

Lalu, hilanglah warna dari lebar senyumnya digantikan tajam netranya yang memintaku untuk menerima kokoh pundaknya.

“ Jangan beri aku seutas senyum lagi. Beri aku tangismu, kalau bisa juga teriakan lantangmu seakan-akan kamu sudah tidak sanggup lagi. Sampai awan mendung yang ada di kanvasmu itu hilang, esok aku temani lagi jalan kaki, jangan dulu lari.”

Tau apa yang aku hadiahkan untuknya saat itu?

Sebuah percaya dan cinta, yang semesta pun tidak sanggup untuk menampungnya

capellaraa
capellaraa

Written by capellaraa

0 Followers

i wrote about you 💌

No responses yet