Kertas kita sudah habis, tinta dari pena juga begitu. Terang yang kukira akan nyala lebih lama, ternyata lebih cepat matinya daripada yang aku duga. Ini salah siapa? Kenapa hanya sampai sini? Kenapa tidak lagi kutemukan debaran yang selalu muncul memenuhi rongga dadaku saat mendengar kalimat cinta dari bibirmu?
Coba aku tanya, adakah matahari yang secerah kamu? Adakah yang sinarnya tidak menyakiti pandanganku layaknya milikmu? Jika ada, seharusnya aku tidak melangkahkan kaki ke tempat dimana matahari lain bersinar, kan? Harusnya aku tetap disini — dengan kamu, sambil mengikat satu atau dua ribu doa ke awan milik angkasa. Agar kita tetap menjadi sepasang yang saling mengerti bahwa cinta itu nyata. Agar kita dapat menyetujui perkataan Ibundaku bahwa dunia ini tidak melulu berisi air mata. Agar aku bisa jatuh hatimu dengan cara yang baik, dengan cara yang semestinya.
“ Apa yang hilang?” Tanyamu.
“ Tidak ada.”
“ Kamu bohong. Nyalanya mati,kan? Kupu-kupu di kebun juga pergi,kan?”
“ Bukan begi — “
“ Siapa? Siapa yang kamu putuskan untuk menjadi penyebab debaranmu yang baru?”
Setelah itu, yang dapat kulihat adalah punggungmu dan langkah kakimu yang menjauh. Buram. Kamu pergi, tanpa mau menunggu usahaku untuk melihat cerahmu sama dengan pertama kali. Padahal, jika kita bersikap egois sekali lagi melawan cara kerja semesta, aku yakin nyalanya akan terang lagi.
Han Jisung, maaf aku tidak bisa memberimu yang semestinya padahal kamu memberi yang lebih dari seisi dunia. Maaf, aku telah jatuh hati bukan padamu, padahal yang sering kita berdua rapalkan adalah doa-doa untuk selalu bersama dengan waktu yang lebih lama sampai kita menjadi sepasang yang penuh cinta di tiap harinya — sampai menua.