Lagi-lagi kamu mengusir badai milikku.
Malam ini, aku berantakan. Mata sembab, rambut yang tidak terikat rapi, dan bibir pucat padahal seingatku sebelum pulang masih ada pewarna bibir yang melekat. Aku kacau, tetapi kamu memilih menjadi hujan yang rintiknya selalu menenangkan serta kamu memilih untuk membungkam petir yang sewaktu-waktu membuat tubuhku semakin menggigil tidak karuan.
Satu teko telah terisi kalimat-kalimat hangat yang kamu tuangkan pada cangkir putih, lalu tumpah dan aku tidak berminat untuk sekadar memegang gagangnya.
“ Aku ini suka bikin kesalahan, padahal aku udah hati-hati, Van.”
“ Ra, karena hati-hatinya kamu selalu ngasih pelajaran. Kalau kamu jalan lurus terus, kamu nggak pernah kenal diri kamu sendiri. Kamu nggak pernah ketemu caranya nyari jalan pintas untuk sampai ke tujuan.”
Mata jernih milikmu yang selalu ingin aku selami itu menunjukkan bahwa ini hal biasa, aku bisa mengatasinya namun hal ini terlalu banyak kerikil di jalannya.
“ Kamu bisa.”
Surai hitamku, kamu beri sentuhan dengan jari-jari yang sering berkaitan dengan jari-jari milikku. Benar katamu, ibaratnya sekarang aku sedang terjatuh karena belum mahir memakai sepatu roda. Tiga atau empat kali latihan, aku pasti sudah mahir dan tersenyum cerah sebab bangga pada kedua kaki yang mampu memerintah roda pada sepatu itu, ya?
“ Kamu jangan pergi dulu,” Pintaku setelah perlahan badai di dalam kepalaku lenyap.
Kain tebal dan sebuah buku bergambar itu kamu taruh di sebelahmu. Tanganmu terulur meraih kepalaku lalu pundak keras milikmu menjadi pengganti satu buntalan besar kapas, kain yang semula berada di sebelahmu itu kamu atur sedemikian rupa supaya cukup untuk menutupi kedua tubuh kita, kemudian aku menghembuskan napas lega dan tersenyum kecil karena kantuk mulai bertamu.
Semuanya runtuh, isi kepalaku hanya berisi tentang bagaimana ibu jarimu mengusap pergelangan tanganku serta kain tebal yang tersampir menutupi kita berdua dari cahaya temaram yang semakin membuat aku ingin terlelap.
Sayup-sayup suara yang akrab — karena terlalu banyak menimpali ocehanku — milikmu itu melantunkan dongeng tentang pesta dansa kerajaan awan. Hangat dan aku memutus sekat, iringan teratur dari debar jantungmu itu berhasil melahap habis sisa kekuatan netraku untuk tetap bekerja menangkap gambaran ibu jarimu yang setia mengusap pergelangan tanganku.
Malam ini, lagi-lagi kamu mengusir badai milikku.
Aku ini suka membuat kesalahan, tetapi kamu suka memperbaiki yang berceceran. Tapak kakimu masih sering terekam pada lantai kayu rumahku, menunjukkan bahwa kamu tidak pergi — kamu selalu kembali.
Padahal aku ini sering gagal, tetapi kamu beri satu kotak berisi hal-hal yang membuat aku lupa bahwa kerikil itu belum tentu membuat luka ataupun lebam. Kamu beri satu usap hangat yang membuatku yakin bahwa gagal adalah bukan akhir dari usaha yang kutali erat pada jendela milik angkasa.
Kamu, juga, memberi satu tatap yang membuatku percaya bahwa berbagi hal — yang sering membuat dahiku mengernyit — denganmu itu tidak pernah salah, sebab kamu tahu bahwa aku hanya butuh telinga dan tenang isi kepala — kamu punya itu semua.
I used to be alone in the night sky
But if I can walk through it with you
That’s all I need
— Jukjae, Let’s Go See the Stars.