Sudah cukup larut ketika kamu tiba di persimpangan jalan. Aku sudah menunggu sampai isi kepalaku yang carut marut itu tak menurut saat kuberi perintah untuk diam dan hilang. Niatku hanya melihat pedulimu yang perlahan surut, tetapi semesta tidak memberi izin melalui matahari yang mulai terbenam. Tidak ada tanda-tanda bahwa kita akan diberi satu lagi buku dari semesta serta kita ternyata diberi waktu yang cukup singkat untuk sekadar merasa bahwa cinta itu ada.
Sudah cukup larut ketika kamu tiba di persimpangan jalan. Pesan-pesanku tidak kamu baca, seperti ingin memberi tahuku bahwa aku tidak lagi bisa dipahami sifatnya. Padahal jika kamu mau memberi waktu dua puluh menit dari dua puluh empat jam milikmu, kamu pasti tahu dan mendengar bahwa aku sama sekali tidak pernah mengharapkan yang gelap ini tumpah dalam lembaran kita.
Sudah cukup larut ketika kamu tiba di persimpangan jalan. Langkah kakimu tidak lagi tertuju padaku, binar matamu juga redup tidak sama seperti pertama kali kita menjadi resmi. Ada yang mati — yang selalu kutakuti dan tidak kupercaya bahwa akan cepat terjadi.
Sudah cukup larut, benar mata kita berdua saling bertemu. Tetapi yang telah hilang tidak lagi bisa kita cari. Serta yang rusak tidak bisa kita perbaiki. Tidak bisa lagi.