Sudah kusiapkan satu cangkir teh untuk menyambut kedatanganmu. Pukul sepuluh, aku menghitung berapa langkah kaki yang mengotori lantai peron waktu itu. Sampai ke-seribu, tidak kunjung kutemukan punggung yang selalu aku anggap sebagai rumah itu.
Hingga ketukan suara langkah kaki senyap dan hilang digantikan lengang yang aku benci. Kamu tidak pulang. Kamu berbohong. Kamu cuma asal bicara dan menitip hati. Aku terlampau lupa, bahwa terkadang binar matamu itu tidak melulu berbicara tentang cinta. Binar matamu itu — berisi keinginan untuk pergi tanpa mengembalikan hati yang aku beri.
Jika aku dapat memundurkan hitungan waktu barang dua detik saja, sebelum kamu pergi, aku ingin berkata kepadamu bahwa yang fana adalah janjimu untuk mencintaiku lebih lama. Sehingga setelah satu langkah kakimu menaiki tangga kereta — tidak akan kuingat lagi bait-bait puisi yang sering kamu bacakan pada hari Sabtu dan juga tidak akan lagi kata menunggu pada kamus hidupku.