Ternyata kereta yang kita tunggu berbeda arah.

Ternyata kereta yang kita tunggu berbeda arah, tidak pernah satu tujuan. Aku dengan satu koper berisi surat tentang merelakan dan dia dengan satu koper berisi surat tentang izin mencintai yang sudah jelas tak akan pernah mendapatkan balasan yang dia inginkan.

Sudah lama kita berseberangan, namun jari-jari yang saling berkaitan seakan menipu keadaan jika ternyata kita sedikit mampu untuk menahan kepergian. Serta satu lengkung senyum dari bibis tipisnya meyakinkan kalau esok akan ada cinta yang lebih banyak menghadiri “kita”. Dia keras kepala, tapi aku menyukainya. Aku terlalu lugu, tapi dia selalu membantuku berdiri kuat dengan kaki milikku sendiri. Dari sini terlihat jelas bahwa dia tangan yang terulur menarikku untuk bertemu terang sedangkan aku hanya diam yang perlahan membuat dia kewalahan.

“ Emang nggak bisa kamu aja?”

“ Apa?”

“ Yang kasih kebahagiaan buat aku?”

“ Dari awal kamu tahu, aku nggak bisa.”

Tujuan dia adalah bahagia tanpa cela, sedangkan aku tidak pernah mewujudkannya. Doa kita tidak sama, doa kita berlainan yang susah untuk diterjemahkan oleh semesta.

Kita adalah sepasang yang terlihat cerah namun ada gelap yang menghiasi langkah kaki kita berdua. Gelap yang perlahan tidak mempersilahkan setitik terang untuk sekadar memasuki ruang kita.

Sekali lagi, kita beda tujuan. Tidak ada tiket untuk saling menemani dalam perjalanan. Langkah kakiku terlalu lambat untuk dia yang bersinar.

Sekarang kita berdua hanya bisa tersenyum nanar dan berusaha menyamakan doa agar semesta bisa menerjemahkannya.

Doa kita berdua sederhana, semoga di kehidupan lainnya kita berdua adalah sepasang yang erat dan tidak takut akan perbedaan yang sewaktu-waktu memutus sekat.

Di kehidupan lainnya, kita adalah sepasang yang tiap detiknya penuh cinta hingga matahari pulang pada tempat persembunyiannya serta tidak ada sepasang mata yang akan menyaksikan lagi kepergian salah satu dari kita karena tujuan kita sudah sama.