— yang amat aku sayangi.
Cho Seungyoun, bahwa kehilangan itu tidak pernah sederhana.
Tidak jika kantung rindu itu tumpah pada cangkir dapat dibalas oleh secarik senyum dan juga tapak kaki di bandara. Kehilangan untukku bukan lagi perkara dapat ditemui hanya dengan menari di atas gumpalan putih di langit yang berwarna jingga — kehilanganku sudah rata oleh tanah serta hanya dapat dijumpai dengan rapalan doa-doa suci diiringi sesak yang menyeruak di rongga dada.
Cho Seungyoun, kata ikhlas itu samar-samar mulai rekat dengan tali temali yang mengikat kotak-kotak memori.
Kotak-kotak tersebut sudah kutali erat dengan tali yang setiap seratnya bermakna ikhlas yang diminta saat ditinggal pergi. Ada sebongkah puzzle yang sudah memudar warnanya, jaket berwarna hitam merah, serta satu botol pewangi yang sialnya sangat akrab dengan aroma saat dia memangku aku yang masih belajar untuk menghitung dengan jari.
Cho Seungyoun, aku ini akrab dengan kegagalan tapi tidak pernah berani mendekat dengan makna kehilangan.
Orang-orang hanya mau mengerti sampai tujuh hari, tetapi bagiku yang diberi kasih hingga berkarung-karung di setiap pertambahan umurku itu cukup sulit untuk tidak mengeluarkan tetes-tetes bening disetiap pejam mata. Nyeri, namun secarik senyum miliknya itu selalu aku hapalkan hingga suaranya terlampau kuat untuk menarik sudut-sudut bibirku ini.
Cho Seungyoun, aku benci merasa kehilangan.
Bohong kalau satu teguk es kelapa itu dapat menghilangkan dahagaku, yang ada malah tegukan itu membangunkan sisa-sisa memori yang mulai pudar — menjadikannya semakin jelas dan pecah lagi tangisanku.
Cho Seungyoun, katamu, surat izin mengikhlaskan itu ada.
Katamu lagi, keberadaan surat itu langka,
“ Dari diri kamu, pena yang berupa rapalan doa itu akan mengetuk kaca-kaca langit dan dibukakan pintunya serupa dengan lembaran putih bersih, lalu setelah selesai akan dibacakan kepada yang tertuju, La.”
Kemudian kutatap lurus kedua bola matamu, berusaha mencari kabut tetapi tidak aku temui. Lantas aku paham, bahwa kamu sudah lama menulis surat izin mengikhlaskan dengan bukti kokohnya pundak dan langkah kakimu — persis seperti milik ayahmu.
Aku pun memutuskan untuk percaya,
lalu bibirku mulai merapal doa-doa suci, berharap yang amat aku sayangi itu diberi terang serta alunan tenang,
serta menyampaikan kepada Sang Pemilik untuk memberiku satu tali,
yang seluruh seratnya berisi rasa ikhlas yang lebih dari tali ikhlas milikku sendiri.
Tidak lupa aku meminta untuk diberi sepaham-pahamnya bahwa yang amat aku sayangi di atas sana telah akrab dengan rapalan doa dari yang dia tinggal pergi serta tidak perlu khawatir apabila hujan turun di langit tempat dia berada,
sebab yang jatuh secara deras itu hanya rindu, akan berhenti sendiri saat kotak-kotak memori milikku warnanya berubah menjadi putih bukan lagi kelabu.